Negara Harus Pastikan RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Bukan kita (Masyarakat Adat) yang merusak bumi, bukan kita penambang, bukan kita yang bikin emisi. Justru sebaliknya, Masyarakat Adat sebagai penjaga hutan terbaik, ditengah dunia mencari solusi mengatasi krisis iklim,” 

Sekjend AMAN Rukka Sombolinggi

Rumah AMAN

Pusat Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Masyarakat Adat

Pengaling, Hutan Penjaga Pantai Suku Serawai di Pesisir Barat Sumatera

“Orang tua kami dulu menyebutnya Muaro Buluan. Di tempat ini kami mencari penghidupan. Mencari remis untuk dijual, mencari ikan dan rotan untuk sayur,” tutur Elda Neti, seorang perempuan Suku Serawai di Desa Pasar Seluma, Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu.

Muaro Buluan, adalah sebuah ekosistem pantai yang terdiri atas pesisir pantai, pohon Cemara Laut, rawa Bakau, belukar, bambu dan beragam tumbuhan lain yang hidup dalam satu kawasan dan berpadupadan dengan kehidupan ekosistem muara sungai yang terentang dari bukit menuju laut.

Sejak lampau, orang-orang suku Serawai yang bermukim di pesisir barat Seluma. Sengaja membiarkan kawasan ini berhutan. Fungsinya, selain sebagai tempat mencari nafkah. Ia juga berperan sebagai ‘Pengaling‘ atau benteng alam yang melindungi kampung dari ancaman abrasi akibat gelombang laut, badai terpaan angin, atau bencana tsunami.

“(Karena itu) Jika tidak dirawat dan dijaga, tentu ancaman terhadap masa depan anak cucu kami semakin dekat,” ucap Elda.

Penjaga Sumber Pangan

Dahulu, kata Elda, di kawasan Pengaling kerap menjadi wadah berkumpulnya orang-orang di komunitas adat Pasar Seluma untuk mencari sumber pangan alternatif dan pendapatan lain sembari menunggu musim panen padi sawah datang.

Para perempuannya mencari remis atau kerang pantai di bibir pantai serta umbut rotan muda. Sementara para lelakinya mencari ikan di muara sungai dengan cara memancing, atau memasang perangkap bubu.

Hasilnya, kelak akan menjadi lauk dan sayur di rumah atau beberapa lagi dijual ke beberapa rumah makan yang ada di Kota Tais, Ibu Kota Kabupaten Seluma. “Namun sayang, kini remis sudah mulai berkurang. Ada, tapi sudah tidak (banyak) seperti dahulu lagi,” katanya.

Yon Nahadi, tokoh Serawai lainnya membenarkan kalau di Pengaling sejak lampau telah menjadi tempat bagi orang Suku Serawai di pesisir untuk beremis (mencari remis), berawang (mencari ikan) dan berutan (mencari rotan).

Beremis, umumnya dikerjakan oleh para perempuan dengan cara menyisir bibir pantai secara bersama-sama. “Caranya dengan menggores pasir dengan alat sejenis arit yang disebut, sengkuit remis,” kata Yon.

Muara Buluan yang saat ini sudah rusak akibat terkikis air laut
kondisi Muara Buluan yang saat ini rusak karena pertambangan. (Foto : Sepriandi)

Sedangkan berawang, lanjut Yon, adalah aktivitas mencari ikan air tawar di dekat Muaro Buluan. Berawang sendiri dilakukan dengan cara mencari ikan dengan jaring, bubu dan jenis penangkap ikan air tawar lainnya. Berawang ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan remaja desa pesisir itu.

Kemudian, istilah berutan ialah atau mencari rotan. Umum juga dikerjakan oleh para lelaki kampung untuk kebutuhan membuat anyaman berupa bakul. “Bagian yang mudanya atau umbut diambil untuk dijadikan sayur dan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya,” kata Yon.

Menanam untuk Kehidupan

Namun demikian, sayangnya kini Pengaling menjadi memprihatinkan. Gelombang laut mulai menelan sebagian tepian dan hutannya. Kondisi ini ikut diperparah dengan terbitnya rencana tambang pasir besi di kawasan itu sejak 2010.

Perlawanan warga pun sudah sering terjadi. Termasuk para perempuan di desa yang selalu menjadi garda terdepan dalam aksi-aksi demonstrasi menyuarakan penolakan mereka. Dari sejak tahun lalu, para perempuan di komunitas adat Pasar Seluma mulai merintis gerakan menanam kembali kawasan Pengaling.

Hutan Adat Pengaling terus dijaga untuk generasi penerus Masyarakat Adat Serawai Pasar Seluma. (Foto : Sepriandi)

Mereka pun menanami kawasan itu dengan pohon pinang dan kelapa. Tujuannya tak lain sebagai upaya restorasi sekaligus juga sebagai penanda wilayah adat yang mereka lindungi. “Yang kami lakukan itu adalah bagian dari mempertahankan wilayah adat kami. Ada sejarah kami yang masih melekat di hutan adat Pengaling,” kata Elda.

Akui Hak Masyarakat Adat

Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai, Zemi Sipantri menyebutkan saat ini AMAN terus mendorong pemerintah daerah memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat.

Salah satunya, ialah mengakui hutan Adat Pengaling sebagai hutan komunal bagi komunitas adat Serawai di Pasar Seluma. “Pemetaan wilayah Adat terus kita lakukan. Kita juga sedang berjuang agar pemerintah memberikan pengakuan wilayah Adat di 25 komunitas di AMAN Tana Serawai,” ucap Zemi.

Beremis adalah cara perempuan Adat Serawai Pasar Seluma menopang hidup keluarga. (Foto : Sepriandi)

Sejauh ini, di Bengkulu, baru ada tiga kabupaten yang mengesahkan peraturan daerah yang mengakomodir pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Yakni Kabupaten Lebong, Rejang Lebong dan Seluma.

Pembentukan Perda itu pun melewati proses yang panjang dengan melibatkan tokoh adat dan komunikasi yang baik dengan Kepala Daerah maupun DPRD. Khusus di Kabupaten Seluma, saat ini baru dalam tahap identifikasi melalui Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2022. Dan telah mengidentifikasi lima komunitas Masyarakat Adat, yaitu Komunitas Masyarakat Adat Serawai Semidang Sakti, Serawai Pasar Seluma, Lubuk Lagan, Napal Jungur dan Arang Sapat.

“Kita tinggal menunggu penetapan wilayah adat sebagai implementasi dari Perda nomor 3 tahun 2022,” tambah Ketua Pengurus Wilayah Harian AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi.

Untuk itu, Fahmi mengingatkan, dengan adanya hubungan masa lalu dan bukti keberadaan orang Serawai dengan Pengaling. Sudah sepantasnya negara segera memberikan pengakuan terhadap hutan adat, wilayah adat serta hak-hak masyarakat adat di wilayah komunitas Serawai Pasar Seluma.

“Pengaling merupakan identitas adat, juga menjadi sabuk hijau pesisir pantai. Yang akan menyelamatkan keberadaan masyarakat adat di komunitas tersebut. Dengan begitu dampak sosial maupun dampak iklim secara khusus di Bengkulu tidak ikut merugikan mereka,” kata Fahmi.

Penulis : Sepriandi

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi AMAN Bengkulu bersama Aliansi Jurnalis Independen Bengkulu dan Deutsche Welle (DW) Akademie

Scroll to Top