Negara Harus Pastikan RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Bukan kita (Masyarakat Adat) yang merusak bumi, bukan kita penambang, bukan kita yang bikin emisi. Justru sebaliknya, Masyarakat Adat sebagai penjaga hutan terbaik, ditengah dunia mencari solusi mengatasi krisis iklim,” 

Sekjend AMAN Rukka Sombolinggi

Rumah AMAN

Pusat Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Masyarakat Adat

Merawat Nasab Jeme Semende di Ulu Nasal

“Ini caro kami mengaguk’i puyang awak,” kata Kuyin (85), malim yang memimpin ritual Pangku Paliare kepada kami, medio Juli kemarin. Mengaguk’i, maksud Datuk Kuyin merupakan kiasan dari kata menghormati atau penghormatan. Jadi, itu mengapa, selain berdoa dan mewajibkan setiap keturunan Semende yang hadir di Pangku Paliare membawa lemang sesuai jumlah anggota keluarganya.

Di ritual setahun sekali ini juga, kita bisa mendengar dan mengetahui bagaimana sejarah orang-orang Semende di Ulu Nasal mulai dari awal. Termasuk pula siapa para puyang mereka. “Mulai dari sejarah kepuyangan, sejarah dusun dan doa akan dibacakan semua dengan detail. Biar anak cucu ini tidak lupa sejarah mereka,” kata Kuyin. Ya, Pangku Paliare ibarat tali pengikat yang menghimpun nasab orang-orang Semende dimana pun mereka berada.

Di Bengkulu. Tradisi Pangku Paliare, menjadi satu-satunya ritual yang rutin dirawat dan diselenggarakan oleh komunitas adat Semende Ulu Nasal. Persis di tepian sungai Ulu Nasal dan di bawah Bukit Tinggi Ari, tradisi yang selalu ramai dihadiri oleh warga ini pun diselenggarakan. Dan salah satu yang dinanti adalah momen berebut air berisi jeruk dan rempah yang telah dirapal doa oleh para tetua kampung. Biasanya, khusus acara ini, setiap warga yang hadir sudah menyiapkan alat untuk menampung air. Mulai dari botol bekas, teko air minum atau gelas.

“Untuk keberkahan dan keselamatan. Rempahnya juga bisa dibuat gelang anak bayi, untuk terhindari dari sakit panas tinggi (step),” kata seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.

Sejarah Semende Nasal

Suku Semende yang hidup dan menetap di aliran sungai Nasal Kabupaten Kaur berasal dari kelompok masyarakat yang hidup di wilayah Mekakau Ulu dan Mekakau Ilir yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan.

Mulanya, mereka hanya kelompok kecil yang terdiri atas tujuh (7) kepala keluarga yang sengaja meninggalkan kampung pada abad 16-an untuk menghindari kedatangan penjajah Belanda. Dari perjalanan mereka, akhirnya ada permukiman pertama di hulu sungai Nasal yang kemudian diberi nama Tumbuk’an atau tempat bertemunya air. Namun, pada tahun 1700-an, karena penduduk terus bertambah dan lahan pertanian terbatas.

Mereka kemudian memutuskan mencari permukiman baru yakni di daerah hilir atau wilayah Nasal Kiri yang kemudian dinamai Hantau Kendidai. Hantau berarti aliran air tenang antara dua lubuk sungai, sementara Kendidai adalah nama pohon. Namun nahas, tahun 1807, tiba-tiba bencana banjir melanda. Hantau Kendidai luluh lantak. Mereka pun berembuk kembali untuk mencari permukiman baru.

Sejak itulah mereka terpisah. Ada yang ke Ulu Benula (Banding Agung), Lampung Barat, Muara Sahung, dan sisanya di Ulu Nasal yang kemudian menjadi Desa Muara Dua.

Scroll to Top