“Caro kami nahanka nyago tradisi ninik muyang dengan utan kami ni (Cara kami mempertahankan dan menjaga tradisi nenek moyang dengan hutan kami),” kata Datuk Rusik sembari duduk di kursi kayu saat petang menjelang ketika saya berbincang dengannya Juli lalu.
Lelaki berusia 80 tahun ini adalah Ketua Sakonam di komunitas adat Arang Sapat, Seluma. Dahulu, lembaga adat asli milik masyarakat adat Serawai ini menjadi pemegang tampuk tertinggi setiap keputusan apa pun urusan di kampung. Mulai dari urusan rumah tangga sampai soal pertanian, menjadi ranahnya mereka. Namun kini, sakonam hanya tinggal nama. Fungsi mereka sudah memudar dan tergantikan dengan pemerintah desa.
Datuk Rusik, meski usianya nyaris seabad dan rambut yang berlumur uban. Secara perawakan ia masih terlihat gagah. Apalagi dengan rambut yang selalu rapi tersisir dan deretan gigi putihnya, membuat kharismanya sebagai tokoh adat masih terjaga. “Zaman dulu kami tak kenal pasta gigi. Cuma daun yang ditumbuk dengan batu untuk membersihkan gigi,” ujar Datuk Rusik ketika menjawab saya yang penasaran dengan gigi putihnya.
Alam yang Berubah
Komunitas adat Arang Sapat, secara adminsitratif pemerintahan, berada di Desa Arang Sapat Kecamatan Lubuk Sandi Kabupaten Seluma dengan jumlah penduduk mencapai 500 kepala keluarga. Dari Kota Bengkulu, jaraknya terentang dua jam perjalanan darat. Akses jalan sudah lumayan karena sudah bisa dilalui kendaraan roda empat dan dua.
Sejak lampau, sebagian besar orang di kampung ini adalah petani yang menggantungkan hidup dari ladang dan hutan. Karena itu, orang-orang di sini piawai menanam padi darat, padi sawah dan tanaman ladang lainnya. Namun demikian, kata Rusik, sayangnya kini semua mulai berubah.
Setidaknya sudah sejak 10 tahun ini, beragam perubahan mulai terasa. Salah satu yang paling mencolok dirasakan adalah kehidupan dan pola pertanian para petani. Padi darat, misalnya kata Rusik, kini sudah lama ditinggalkan lantaran cuaca dan kondisi tanah yang sudah tidak memungkinkan. Padahal dulunya, jenis padi darat ini menjadi pangan pokok orang di kampung ini.
Begitu pun dengan nasib petani padi sawah yang menggunakan air. Awalnya, semua baik-baik saja. Sawah bisa menghasilkan padi berton-ton dan mencukupi kebutuhan pangan di kampung ini. Namun belakangan, ketersediaan air sawah mulai jadi masalah. Air irigasi selalu tak cukup lantaran harus berbagi dengan sawah yang lainnya.
Belum lagi soal serangan hama. Walang Sangit, serangga berbau busuk kerap mengerumuni buah padi sehingga padi banyak sekali tidak ada isinya atau yang dinamakan penduduk setempat dengan padi ampo.
Termasuk mereka yang berkebun tanaman karet. Penurunan produktivitas pun mulai menjadi masalah. “Dulu, dalam satu tahun itu biasanya cuma satu kali bepuguak atau menggugurkan daun tetapi sekarang bisa dua atau tiga kali. Kondisi ini berdampak pada jumlah getah yang dihasilkan,” kata Rusik.
Akumulasi dampak dari ini, kini orang-orang di kampung menjadi rentan miskin. Hasil pertanian yang dahulu menjadi punggung, rupanya mulai rapuh. Sawah-sawah banyak yang gagal panen, kekeringan mulai melanda di beberapa tempat, kemarau pun jadi terasa lebih panjang. Termasuk mulai berkurangnya satwa hutan yang selama ini menjadi petani hutan seperti Kalong dan lainnya.
“Dulu kelelawang (kalong) keluar menandakan musim durian akan datang. Kini tak bisa ditebak lagi. Bahkan jumlahnya sedikit sekali,” kata Rusik.
Dulu, berdasar cerita orang kampung. Saban magrib. Ribuan kalong kerap memenuhi langit ketika para kelelawar pemakan buah ini keluar dari bukit hutan yang ada di atas kampung. Selain sebagai hewan yang kerap menebar bibit tanaman di hutan, kalong bagi orang Arang sapat juga menjadi semacam pertanda alam, soal musim buah yang akan datang. Namun kini, kalong yang muncul, sudah jauh berkurang. Tidak ada lagi keriuhan langit saban petang di kampung ini.
Merawat Kenduri Tenga Laman
Meski begitu, kata Rusik, kesetiaan orang komunitas adat atas tradisinya tetap bertahan. Setidaknya, dengan merawat terus tradisi yang lekat dengan kearifan alam. Sampai sejauh ini, bisa menjadi pagar peringatan kepada seluruh komunitas adat untuk tetap menghormati alam dan menjaganya agar tidak menimbulkan kerusakan lebih jauh dan lebih cepat.
Dan, salah satunya yang kini terus ada dan terawat adalah Kenduri Tenga Laman. Ritual yang bermakna untuk penghormatan kepada penunggu hutan dan alam ini, biasanya digelar setahun sekali yakni pada awal tahun atau sebelum orang-orang di kampung mulai menanam padi. “Untuk mencegah niniak tughun ke dusun,” kata Rusik.
Niniak, bagi orang Serawai tak lain adalah tata cara penghormatan mereka untuk menyebut kata pengganti bagi Harimau. Yah, orang di sini percaya, jika harimau sudah masuk kampung itu adalah pertanda sial atau mungkin pertanda bencana sudah mulai dekat. Karena itu, sebagai prasyarat kenduri, mereka pasti menyediakan nasi kunyit, nasi ketan, lemang, sirih dan lainnya.
“Karena itu, pada masa kenduri. Tidak boleh ada warga Arang sapat yang ke hutan atau beraktivitas di ladang. Melanggar ini, maka kampung bisa kena bala (sial). Pertanian akan gagal panen, dan tanah tidak akan subur,” kata Rusik.
Hingga lah kini, tradisi ini terus berlangsung dan terjaga di Arang Sapat. “Kenduri Tenga Laman saja masih terus berlangsung, masalah masih timbul. Apalagi tidak diselenggarakan,” begitu kata Rusik mengakhiri pembicaraan.
Penulis: Yenni
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi AMAN Bengkulu bersama Aliansi Jurnalis Independen Bengkulu dan Deutsche Welle (DW) Akademie